08 September 2010

Perjuangan "centeng" mang sarif

Pikiranku sedang melayang pada saat ramadhan tahun 2004. Waktu saya masih duduk di bangku kuliah. Pagi itu saya berjalan menyusuri kampus, kebetulan waktu itu saya harus masuk perkuliahan pagi, sekitar jam 07.00. Selangkah menuju kelas tiba tiba saya di sapa oleh seorang bapak yang sudah tua, kerempeng, dengan masih memegang sapu,' Kuliah a ?" katanya. "Iya mang, lebet enjing enjing " kataku dengan logat sunda. Dia menyodorkan tangannya, " mang sarif a" " oh yah, Kiki " jawabku. " abdi penjaga kampus nu enggal " katanya. " ya udah mang, nanti ngobrol setelah kuliah " kataku sambil tersenyum. " mangga mangga a " sambil dia menyapu kembali. Selepas kuliah saya tengok kanan tengok kiri. Kemana mang sarif itu, pikirku. " Ya sudahlah, mungkin dia pulang kerumah " gumamku. Tak lama saya mempercepat langkah pulang, memang sangat panas cuaca saat itu, ku liat jam menunjukan pukul 13.00. " pantesan panas sekali " dalam hatiku. Sesampai di rumah membuka semua buku yang tadi di bawa kuliah, ada tugas yang harus diselesaikan. Besok harinya seperti biasa saya masuk pagi, hari itu masuk jam 08.15, matahari pun sudah tinggi. Sambil berjalan saya coba melihat sekeliling, cuma mang arief tidak ada, padahal saya janji mau ngobrol dengan dia. Pas didepan pintu kelas, saya lihat mang sarif sedang duduk di bawah pohon, sembari sesekali mengipas ngipaskan topinya, kegerahan rupanya. Saya hanya mengangguk sambil tersenyum, dia pun mengangguk sambil tersenyum, walau agak dipaksakan, mungkin karena lelah. Ketika perkulihan dimulai, saya cuma memandangi terus mang sarif yang sedang duduk di luar. Entah mengapa saya merasa kasihan melihat dia, sudah tua, kerempeng, agak batu batuk kayanya. Harusnya seumuran mang sarif diam di rumah sambil mengurus anak atau malah cucunya. Lama kelamaan terlihat mang sarif tertidur pulas, mungkin capek,, disitu saya baru sadar, ternyata gedung kampus 3 lantai yang begitu luasnya ternyata mang sarif yang menyapu dan mengepel setiap pagi dan sore. Tidak terbayangkan bagaimana capenya dia. Tak berapa lama dia terlihat terbangun, kayanya dia kaget, tertidur, begitu bangun dia langsung meraih cangkul, di kebun milik kampus dia merapikan tanaman tanaman kampus. Ya Allah, sebegitu keraskah pekerjaan dia. Tekadku sudah bulat, saya ingin berbincang bincang dengan dia. Begitu kuliah selesai saya langsung berjalan menuju mang sarif, " mang,,," kataku, " eh a, dah selesai kuliahnya?" katanya sambil menyimpan cangkul. " sudah mang " jawabku sambil duduk. " Mang sarif sebetulnya orang mana?" tanyaku, " orang garut a, kalau aa orang mana?" sambil dia mengerutkan dahi. "orang subang mang",senyum saya menjawabnya. " kalau mang sarif tinggal di mana disininya?" aku sedikit bingung, sebenarnya tinggal dmana dia. " disana a" sambil dia menunjukan sebuah ruangan kecil. " oh" jawabku sambil bingung. " ya sudah mang saya pulang dulu " sambil berdiri saya tersenyum. " ya sudah, nanti main a, mang kalau malem ga da temen" katanya. " Insyaallah mang". sambil berjalan pulang, saya tak pernah lepas memikirkannya. Dia sendiri disini, bagaimana dia makan, siapa yang mengurusnya. Selepas isya saya berjalan ke kampus, sebelumnya saya membeli nasi bungkus buat dia, takutnya belum makan. Saya menuju ruangan yang dia tunjukan tadi. Jalan ini gelap sekali, bagaimana mang sarif bisa betah, pikirku. "Assalamu'alaikum" sambil saya mengetok pintu. "waalaikum salam" terdengar mang sarif menjawab. Tak lama mang sarif membuka pintu, " ayo masuk" seraya memegang pundakku. Begitu saya masuk sejenak saya memandangi ruangan ini, Astagfirullah, saya kaget, ternyata tempat tidurya adalah sebua wc yang sudah di tutup. Kalau tidak malu, saya ingin menangis saat itu juga. Ruangan itu hanya ada tikar dan kompor kecil dan ketelnya. " mang, saya bawa nasi nih" memecah kesepian saya kasih nasi itu. " alhamdulillah, mang belum makan dari sahur " sambil membuka nasi itu mang sarif langsung memakannya. Demi Allah saya tidak kuat melihatnya, mungkin kalau saja lampu nya terang, mang sarif akan melihat tetesan air mata saya. " mang keluarga di garut?trus anak ada berap? " kataku, " di garut a, anak ada 4, istri ga kerja, jadi gaji mang di kirim lewat pos" jawab dia sambil makan. " mang saya pulang dulu yah " kataku. "ya sudah, makasih yah" jawab dia. Secepat kilat saya dengan sedikit berlari meninggalkan kampus. Sesampai kosan saya ga bisa tidur, kepikiran terus mang arief. Besoknya saya ga ada kuliah, jadi ga kekampus, menjelang buka puasa saya menuju ruangan mang arif, saya sengaja membawa setengah kilo telur, mungkin bermanfaat buat dia buka. Ternyata mang arief sedang menyapu di ters kampus. Dia senang saya bawakan telor. " mang saya besok mau pulang ke subang" sambil duduk saya memegang tangannya. " ya hati hati a, jangan lupa oleh olehnya" kata dia sambil memandangku. " ya sudah mang saya mu siap siap buka puasa, mari mang"" ya mangga"sambil berdiri mang arif melambaikan tangan. Seminggu saya di subang, sekembalinya dari subang saya menuju kampus, sambil bawa nasi padang saya menuju ruang mang arif. Sesampainya di ruangannya, ternyata kosong. Cuma ada pemuda yang sedang menyapu. Dia bilang mang arif sakit paru paru basah. Dia di bawa ke keluarganya ke garut. Hari itu, sambil memegang nasi bungkus saya pulang ke kosan. Harus ke siapa saya cari kabar, ternyata ga ada yang tahu. seminggu kemudian ketemu dengan temanku rahmat, saya tanyakan sama dia. Dia menjawab, manga arif sudah wafat 3 hari yang lalu. " Innalillahi wa innalillahi raajiun" tak terasa air mataku menetes, ternyata telor itu menjadi saksi pertemuan terakhir dengan mang arif. Mang arif,,,sampai saat ini saya iri dengan perjuangan mang, hanya tidur di wc yang di tutup, tidur dengan tikar, tapi mang masih bisa tersenyum. Sampai apanpun mang akan jadi panutan dan contoh buat saya. Selamat Jalan Mang arif.

0 komentar: